Oleh : Anjrah Lelono Broto | 22-Feb-2010
KabarIndonesia - Tahun 2010 boleh jadi ditetapkan sebagai Tahun Pilkada Indonesia. Tak kurang ada 246 daerah (7 pemilihan gubernur, 204 bupati, dan sisanya walikota) yang akan menggelar pemilihan kepala daerah di tahun 2010 ini.
Adalah harapan kita bersama, baik masyarakat di daerah yang segera menggelar perhelatan pesta demokrasi lokal tersebut maupun pemerintah pusat, Pilkada tahun ini, proses dan hasilnya memenuhi kriterium akuntabilitas pemilu, sejalan dengan tuntutan demokrasi. Penentuan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan umum bergulir sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Penentuan kepala daerah secara langsung ini juga menjadi bagian dari kebijakan otonomi daerah (desentralisasi), yang mana memberi kebebasan ruang gerak bagi pemerintah daerah untuk mengelola potensi daerahnya, termasuk potensi SDM yang layak menjadi pemimpin. Pemimpin yang mampu memahami potensi, karakteristik, serta visi tentang daerahnya secara holistik. Tentu saja, tuntutan berikutnya adalah pemimpin yang memahami nilai-nilai demokrasi. Karena realitanya munculnya pemimpin-pemimpin baru melalui mekanisme Pilkada acap kali hanya melahirkan perspektif peluang kekuasaan dan "Raja Kecil' yang cenderung berkehendak untuk membangun lingkaran kekuasaan semata.
Adalah sebuah persepsi berakar tunggang bahwa demokrasi sama nilainya dengan kesetaraan. Dalam pesta demokrasi, setiap warga negara yang memiliki hak pilih memiliki kedudukan yang setara satu sama lain. One man one vote. One man one vote dalam demokrasi merefleksikan berakarnya pengakuan yang setara bagi setiap individu dalam sebuah ikatan negara. One man one vote juga menjadi ikon bahwa kekuasaan benar-benar dari dan untuk rakyat. Kekuasaan dari dan untuk rakyat membawa persepsi adanya kebaikan bagi semua (common good). Secara gamblang, common good tercipta dengan adanya partisipasi aktif warga negara secara holistic, termasuk di dalamnya menggunakan hak pilihnya sesuai dengan mekanisme pesta demokrasi.
Sejarah politik Indonesia, secara pragmatis, hanya melahirkan elite dan massa yang jatuh cinta dengan kepentingan sesaat. Kemarin kita bergandeng tangan, hari ini kita berseberangan, minggu depan bisa jadi kita berpelukan.
Ideologi bukan sebuah problematika yang dapat mengurangi gerak laju elite dan massa politik untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Dengan dalih sederhana, akomodasi kepentingan politik (temporer), pembunuhan karakter pribadi maupun lembaga politik dengan bahasa sindiran, hujatan, makian, dan lain-lain berlangsung asyik-asyik saja dan di mana saja. Sedangkan kepercayaan publik hanya komoditi yang datang dan pergi.
Politisi yang lahir dari kultur politik mesum seperti ini mentransfer norma kultural yang sama ketika duduk di pemerintahan. Ujungnya bisa ditebak, korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap menjadi menu utama birokrasi pemerintahan kita. Demokrasi akan menemukan kesejatiannya (sebagai mekanisme proses lahirnya common good) apabila lembaganya ditempati personal yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi.
Miftah Toha (2003) mengatakan seorang demokrat sejati idealnya tidak terwujud dalam karakter pemimpin yang melankolis dan mengejar pujian, figur superior yang berhasil tanpa cacat, yang tidak nrimo menjumpai kompetitor, atau yang tidak segera mengeluh ketika dihujam kritik. Demokrat sejati ada dalam konstruksi karakter rendah hati, anti-superioritas, menghormati kesetaraan dan perbedaan sebagai sebuah fitrah-Nya yang final. Kebaikan yang diharapkan bukan hanya untuk sebuah golongan, melainkan mencakup keseluruhan.
Dapatkah kita jumpai pemimpin demokrat sejati dalam rentetan pesta demokrasi di level lokal tahun 2010 ini?
Di mata penulis, Pilkada bukan hanya pesta yang diakhiri dengan penobatan figur pemimpin eksekutif di level lokal. Namun, Pilkada adalah sebuah pesta beratmosfer demokrasi yang memberi ruang kepada warga negara untuk menyalurkan aspirasinya sebagai bagian penitian harapan untuk diri, lingkungan, dan sistem yang lebih baik. Trans-birokrasi di lingkaran eksekutif ini mengusung ekspektasi besar agar berjalan secara jurdil dan melahirkan pemimpin yang mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan secara berkesinambungan.
Telah menjadi rahasia umum, pribadi atau kekuatan politik ‘mendekati' masyarakat umum ketika berkepentingan dengan hak suara seperti halnya Pilkada. Pasca Pilkada, masyarakat ditinggalkan begitu saja seperti ‘habis manis sepah dibuang'. Trans-birokrasi diretas dari birokrasi berkarakter oligarkis dan otoriter. Gerakan trans-birokrasi hendaknya merujuk pada prinsip birokrasi model Max Webber, yang secara gamblang menggambarkan bahwa (1) birokrat adalah pribadi bebas yang mampu memilah dan memilih kepentingan pribadi dan tupoksinya; (2) birokrat adalah figur yang mampu menciptakan sistem hierarki fungsional-koordinatif berlandas pada tugas yang diembannya; (3) birokrat adalah ikatan kontrak jabatan sejalan penempatan tugas; dan (4) birokrat adalah pribadi berkompeten dan kualitas dalam pengendalian dan pengawasan pelaksanaan tugas secara sistemik (Thoha, 2003).
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan setiap daerah yang akan menggelar Pilkada telah mengalokasikan dana dalam APBD tahun 2010, sehingga ia optimis pelaksanaan Pilkada aman (Media Indonesia, 06/01/2010). Optimisme pelaksanaan Pilkada Mendagri ini berpijak pada ketaatan KPUD pada UU No. 32 Tahun 2004 atau perubahan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, serta tuntunan pelaksanaannya berdasarkan Permendagri No. 44 Tahun 2007.
Pemikiran yang optimis sah-sah saja apabila berpijak pada fakta yang mendukung. Realita yang berkembang justru sangat kontradiktif dengan optimisme Mendagri tersebut. Misalnya, Pilkada Jatim 2008 yang berlangsung dua putaran dan berbau isu penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPUD menjadi sorotan publik tanah air. Ada sinyalemen kuat bahwa Pilkada Jatim kemarin sarat dengan korupsi, kolusi, dan manipulasi. Akan tetapi, pengusutan adanya penyelewengan anggaran dan manipulasi data juga seakan berhenti di tengah jalan seiring dengan datangnya euphoria Pemilu 2009.
Ada kekhawatiran penyelenggaran Pilkada secara serentak di 246 daerah akan berpotensi melahirkan aksi-aksi serupa dengan yang terjadi dalam Pilkada Jatim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pilkada adalah pesta belanja keuangan negara, keuangan pribadi, keuangan lembaga, yang ‘tidak terjangkau' oleh BPK, Kejaksaan, Kepolisian, maupun auditor independen. ‘Ketidakterjangkauan' ini mutlak dilatarbelakangi mental koruptif yang ada dalam lembaga-lembaga tersebut.
Masing-masing daerah juga mengusung beragam dimensi problematika. Bagi daerah yang memiliki PAD melimpah seperti seperti Riau dan Jawa Timur, anggaran besar bagi Pilkada bukan sebuah persoalan yang rumit. Tetapi bagaimana dengan daerah yang memiliki tingkat PAD minim?
Tercatat, KPU Kalteng mengancam melakukan boikot Pilkada jika Pemprov Kalteng menolak pengajuan dananya yang mencapai Rp140 miliar. KPUD Sumbawa Besar Provinsi NTB yang mengajukan anggaran hingga Rp 21 miliar, serta KPUD NTT yang mengajukan anggaran mencapai Rp 132 miliar secara pesimis mengatakan adanya sinyelemen kegagalan perhelatan Pilkada karena minimnya PAD. Bagaimana dengan daerah Anda?
Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI (F-PDI Perjuangan), meminta penundaan Pilkada, dengan merujuk Perppu No. 3 Tahun 2005. Permintaan ini berpijak pada tafsir klausul 'gangguan lain' dalam Pasal 36A Perppu tersebut. "Gangguan lain" bisa saja menyentuh wilayah pendanaan atau persiapan penataan DPT.
Namun sebagaimana pelaksaan Ujian Nasional (UN) yang meski mengantongi putusan MA tapi dipaksakan jalan terus oleh Mendiknas, Mendagri juga menolak dengan tegas permintaan tersebut dan mengatakan tidak ada "gangguan lain" dalam pelaksaan Pilkada 2010. Lalu, apa latar belakang optimisme Mendagri tersebut?
Kita semua menanti perjalanan dan hasil pesta demokrasi lokal 2010 ini. Semoga, yang melahirkan sederet pemimpin daerah yang benar-benar memahami daerahnya secara holistik, memahami otonomi daerah sebagai desenteralisasi kekuasaan dan tanggung jawab bukan desentralisasi kewenangan dan peluang korupsi.
Semoga.(*)
Penulis: bekerja di Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia, Mahasiswa Pasca Sarjana Humaniora.
Senin, 08 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar