2010, Tahun Pilkada Indonesia

Harian Online  KabarIndonesia

Minggu, 14 Maret 2010

Deklarasi Azasi-Khalifah Dihadiri Ribuan Pendukung

Rabu, 10 Mar 2010.

Sumenep - Deklarasi pasangan bakal calon bupati dan calon wakil bupati, Azazi Hasan-Dewi Khalifah di Gedung Korpri Sumenep, Madura, Jawa Timur, Rabu, dihadiri ribuan pendukungnya.

Sebelum deklarasi, pendukung "Assifa" (sebutan pasangan Azasi-Khalifah) menggelar istigasah di Gedung Korpri dan ramah tamah di komplek Pondok Pesantren Aqidah Utsmuni.

"Pelaksanaan istigasah dan ramah-tamah sebelum deklarasi ini sesuai keinginan kandidat kami. Dengan deklarasi ini, kandidat kami siap maju dan menang pada pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada) di Sumenep," kata Ketua Tim Sukses Assifa, Abdullah Arif.

Ia mengemukakan, pasangan "Assifa" akan diusung oleh koalisi tiga partai politik (parpol), yakni Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Sudah ada keputusan. Koalisi PKNU, PBB, dan PKS sudah sepakat mengusung 'Assifa' pada pilkada," ucapnya menegaskan.

Setelah deklarasi, kata Abdullah, "Assifa" akan bersilaturrahmi dengan para pendukungnya di Gedung Korpri.

"Pekan depan, Pak Azasi akan ke wilayah kepulauan untuk bersilaturrahmi dengan masyarakat setempat. Untuk kunjungan ke kepulauan, Pak Azasi mengawalinya ke Pulau Kangean," ujarnya mengungkapkan.

Selain ribuan pendukung "Assifa", Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKNU Jawa Timur, Arif Junaidi juga hadir di Gedung Korpri.

Rekom DPP Partai Demokrat Positif Bambang Mursalin

Sumenep - Ruang Aspirasi Rakyat

Akhirnya rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (DPP PD) tentang calon bupati (cabup) Sumenep positif diberikan kepada Ir. Bambang Mursalin, MM, MBA. Rencananya, Senin, (13/03) rekomendasi tersebut turun dan diberikan langsung kepada yang bersangkutan. Konsultan nasional ini ditetapkan sebagai cabup setelah melalui tahap penjaringan dan penyaringan internal.

Hal ini disampaikan, Achsanul Qosasi, Ketua (PLT) Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat (DPC) Sumenep, Minggu (12/03) saat dihubungi melalui selulernya. Anggota DPR RI (Dapil XI) Jawa Timur ini memastikah bahwa, rekomendasi sudah turun.

”Saya sudah kontak Bapak Amir Syamsudin Sekjen DPP PD. Ia mengatakan tinggal teken saja dan diambil senin di kantor DPP PD. Jadi tidak ada masalah dan dipastikan Bambang Mursalin cabup dari DPC PD Sumenep,” jelas mantan anggota panitia angket kasus century .

Menurutnya, proses penetapan Bambang Mursalin sudah melalui penjaringan dan penyaringan tim sembilan. Dimana tim sembilan tersebut melibatkan unsur DPC, DPD dan DPP Partai Demokrat. Semua unsur tersebut telah menyepakati untuk menetapkan Bambang Mursalin sebagai calon Bupati Sumenep periode 2010-2015.

”Atas masukan dan hasil laporan tim sembilan tersebut DPP PD akhirnya menetapkan Bambang Mursalin. Mengingat dirinya paling layak memimpin Sumenep mendatang.” ujar Achsanul Qosasi pria kelahiran Sumenep 10 Januari 1966 ini.

Achsanul Qosasi juga mengatakan, Bambang Mursalin merupakan sosok yang tepat. Mengingat dirinya adalah konsultan nasional dan berpengalaman melakukan kerjasama dengan pemerintah. Bambang Mursalin adalah vice president PT.AMYTHAS PRATAMA Holding Company, sehingga ledearship dan kompetensinya teruji.

Dasar pendidikan Bambang Mursalin adalah alumni SMA 1 Sumenep lulusan 1983 dan pernah menjadi Ketua OSIS. Setelah lulus S1 di Universitas Indonesia jurusan Tehnik Sipil 1990, Bambang Mursalin melanjutkan kuliah pasca sarjana di IPMI (Manajemen Indonesia). Selanjutnya meneruskan kuliah di University of Monash, Melbourne, Australia '97 dengan gelar Master Of Business - Administration.

“Tidak ada keraguan lagi. Insya Allah jika memimpin nantinya bisa berfikir luas atas pengalaman dan pendidikan. Terutama dalam memajukan Sumenep pasca jembatan Suramadu,” kata Ahcsanul dengan gamblang.

Sementara itu dukungan Bambang Mursalim cukup kuat dengan didukung 15 parpol non parlemen. Ditambah Partai Demokrat rencananya dukungan akan meluas. Dimana akan segera diikuti Partai Golkar, PKS, PBR, PK dan PDP.(rud)

Senin, 08 Maret 2010

2010, Tahun Pilkada Indonesia

Oleh : Anjrah Lelono Broto | 22-Feb-2010
KabarIndonesia - Tahun 2010 boleh jadi ditetapkan sebagai Tahun Pilkada Indonesia. Tak kurang ada 246 daerah (7 pemilihan gubernur, 204 bupati, dan sisanya walikota) yang akan menggelar pemilihan kepala daerah di tahun 2010 ini.

Adalah harapan kita bersama, baik masyarakat di daerah yang segera menggelar perhelatan pesta demokrasi lokal tersebut maupun pemerintah pusat, Pilkada tahun ini, proses dan hasilnya memenuhi kriterium akuntabilitas pemilu, sejalan dengan tuntutan demokrasi. Penentuan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan umum bergulir sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Penentuan kepala daerah secara langsung ini juga menjadi bagian dari kebijakan otonomi daerah (desentralisasi), yang mana memberi kebebasan ruang gerak bagi pemerintah daerah untuk mengelola potensi daerahnya, termasuk potensi SDM yang layak menjadi pemimpin. Pemimpin yang mampu memahami potensi, karakteristik, serta visi tentang daerahnya secara holistik. Tentu saja, tuntutan berikutnya adalah pemimpin yang memahami nilai-nilai demokrasi. Karena realitanya munculnya pemimpin-pemimpin baru melalui mekanisme Pilkada acap kali hanya melahirkan perspektif peluang kekuasaan dan "Raja Kecil' yang cenderung berkehendak untuk membangun lingkaran kekuasaan semata.

Adalah sebuah persepsi berakar tunggang bahwa demokrasi sama nilainya dengan kesetaraan. Dalam pesta demokrasi, setiap warga negara yang memiliki hak pilih memiliki kedudukan yang setara satu sama lain. One man one vote. One man one vote dalam demokrasi merefleksikan berakarnya pengakuan yang setara bagi setiap individu dalam sebuah ikatan negara. One man one vote juga menjadi ikon bahwa kekuasaan benar-benar dari dan untuk rakyat. Kekuasaan dari dan untuk rakyat membawa persepsi adanya kebaikan bagi semua (common good). Secara gamblang, common good tercipta dengan adanya partisipasi aktif warga negara secara holistic, termasuk di dalamnya menggunakan hak pilihnya sesuai dengan mekanisme pesta demokrasi.

Sejarah politik Indonesia, secara pragmatis, hanya melahirkan elite dan massa yang jatuh cinta dengan kepentingan sesaat. Kemarin kita bergandeng tangan, hari ini kita berseberangan, minggu depan bisa jadi kita berpelukan.

Ideologi bukan sebuah problematika yang dapat mengurangi gerak laju elite dan massa politik untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Dengan dalih sederhana, akomodasi kepentingan politik (temporer), pembunuhan karakter pribadi maupun lembaga politik dengan bahasa sindiran, hujatan, makian, dan lain-lain berlangsung asyik-asyik saja dan di mana saja. Sedangkan kepercayaan publik hanya komoditi yang datang dan pergi.

Politisi yang lahir dari kultur politik mesum seperti ini mentransfer norma kultural yang sama ketika duduk di pemerintahan. Ujungnya bisa ditebak, korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap menjadi menu utama birokrasi pemerintahan kita. Demokrasi akan menemukan kesejatiannya (sebagai mekanisme proses lahirnya common good) apabila lembaganya ditempati personal yang memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi.

Miftah Toha (2003) mengatakan seorang demokrat sejati idealnya tidak terwujud dalam karakter pemimpin yang melankolis dan mengejar pujian, figur superior yang berhasil tanpa cacat, yang tidak nrimo menjumpai kompetitor, atau yang tidak segera mengeluh ketika dihujam kritik. Demokrat sejati ada dalam konstruksi karakter rendah hati, anti-superioritas, menghormati kesetaraan dan perbedaan sebagai sebuah fitrah-Nya yang final. Kebaikan yang diharapkan bukan hanya untuk sebuah golongan, melainkan mencakup keseluruhan.

Dapatkah kita jumpai pemimpin demokrat sejati dalam rentetan pesta demokrasi di level lokal tahun 2010 ini?

Di mata penulis, Pilkada bukan hanya pesta yang diakhiri dengan penobatan figur pemimpin eksekutif di level lokal. Namun, Pilkada adalah sebuah pesta beratmosfer demokrasi yang memberi ruang kepada warga negara untuk menyalurkan aspirasinya sebagai bagian penitian harapan untuk diri, lingkungan, dan sistem yang lebih baik. Trans-birokrasi di lingkaran eksekutif ini mengusung ekspektasi besar agar berjalan secara jurdil dan melahirkan pemimpin yang mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan secara berkesinambungan.

Telah menjadi rahasia umum, pribadi atau kekuatan politik ‘mendekati' masyarakat umum ketika berkepentingan dengan hak suara seperti halnya Pilkada. Pasca Pilkada, masyarakat ditinggalkan begitu saja seperti ‘habis manis sepah dibuang'. Trans-birokrasi diretas dari birokrasi berkarakter oligarkis dan otoriter. Gerakan trans-birokrasi hendaknya merujuk pada prinsip birokrasi model Max Webber, yang secara gamblang menggambarkan bahwa (1) birokrat adalah pribadi bebas yang mampu memilah dan memilih kepentingan pribadi dan tupoksinya; (2) birokrat adalah figur yang mampu menciptakan sistem hierarki fungsional-koordinatif berlandas pada tugas yang diembannya; (3) birokrat adalah ikatan kontrak jabatan sejalan penempatan tugas; dan (4) birokrat adalah pribadi berkompeten dan kualitas dalam pengendalian dan pengawasan pelaksanaan tugas secara sistemik (Thoha, 2003).

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan setiap daerah yang akan menggelar Pilkada telah mengalokasikan dana dalam APBD tahun 2010, sehingga ia optimis pelaksanaan Pilkada aman (Media Indonesia, 06/01/2010). Optimisme pelaksanaan Pilkada Mendagri ini berpijak pada ketaatan KPUD pada UU No. 32 Tahun 2004 atau perubahan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, serta tuntunan pelaksanaannya berdasarkan Permendagri No. 44 Tahun 2007.

Pemikiran yang optimis sah-sah saja apabila berpijak pada fakta yang mendukung. Realita yang berkembang justru sangat kontradiktif dengan optimisme Mendagri tersebut. Misalnya, Pilkada Jatim 2008 yang berlangsung dua putaran dan berbau isu penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh KPUD menjadi sorotan publik tanah air. Ada sinyalemen kuat bahwa Pilkada Jatim kemarin sarat dengan korupsi, kolusi, dan manipulasi. Akan tetapi, pengusutan adanya penyelewengan anggaran dan manipulasi data juga seakan berhenti di tengah jalan seiring dengan datangnya euphoria Pemilu 2009.

Ada kekhawatiran penyelenggaran Pilkada secara serentak di 246 daerah akan berpotensi melahirkan aksi-aksi serupa dengan yang terjadi dalam Pilkada Jatim. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pilkada adalah pesta belanja keuangan negara, keuangan pribadi, keuangan lembaga, yang ‘tidak terjangkau' oleh BPK, Kejaksaan, Kepolisian, maupun auditor independen. ‘Ketidakterjangkauan' ini mutlak dilatarbelakangi mental koruptif yang ada dalam lembaga-lembaga tersebut.

Masing-masing daerah juga mengusung beragam dimensi problematika. Bagi daerah yang memiliki PAD melimpah seperti seperti Riau dan Jawa Timur, anggaran besar bagi Pilkada bukan sebuah persoalan yang rumit. Tetapi bagaimana dengan daerah yang memiliki tingkat PAD minim?

Tercatat, KPU Kalteng mengancam melakukan boikot Pilkada jika Pemprov Kalteng menolak pengajuan dananya yang mencapai Rp140 miliar. KPUD Sumbawa Besar Provinsi NTB yang mengajukan anggaran hingga Rp 21 miliar, serta KPUD NTT yang mengajukan anggaran mencapai Rp 132 miliar secara pesimis mengatakan adanya sinyelemen kegagalan perhelatan Pilkada karena minimnya PAD. Bagaimana dengan daerah Anda?

Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI (F-PDI Perjuangan), meminta penundaan Pilkada, dengan merujuk Perppu No. 3 Tahun 2005. Permintaan ini berpijak pada tafsir klausul 'gangguan lain' dalam Pasal 36A Perppu tersebut. "Gangguan lain" bisa saja menyentuh wilayah pendanaan atau persiapan penataan DPT.
Namun sebagaimana pelaksaan Ujian Nasional (UN) yang meski mengantongi putusan MA tapi dipaksakan jalan terus oleh Mendiknas, Mendagri juga menolak dengan tegas permintaan tersebut dan mengatakan tidak ada "gangguan lain" dalam pelaksaan Pilkada 2010. Lalu, apa latar belakang optimisme Mendagri tersebut?

Kita semua menanti perjalanan dan hasil pesta demokrasi lokal 2010 ini. Semoga, yang melahirkan sederet pemimpin daerah yang benar-benar memahami daerahnya secara holistik, memahami otonomi daerah sebagai desenteralisasi kekuasaan dan tanggung jawab bukan desentralisasi kewenangan dan peluang korupsi.
Semoga.(*)

Penulis: bekerja di Litbang Lembaga Baca-Tulis Indonesia, Mahasiswa Pasca Sarjana Humaniora.

Menuju Pilkada Sumenep 2010-2015, Siapakah Calon Yang Akan Muncul

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sumenep tinggal beberapa bulan lagi. Tepatnya 14 Juni 2010 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumenep akan merencakan pelaksanaan pilkada. Namun sampai saat ini belum terlihat calon-calon yang melakukan gebrakan signifikan. Terutama dalam rangka meraih simpati dukungan masyarakat luas.

Sejatinya pilkada Sumenep dalam rangka memilih beberapa calon Bupati dan Wakil Bupati yang dikehendaki masyarakat. Semakin luas pengaruh yang diberikan semakin banyak dukungan bias diraih. Tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dan melalui proses yang panjang dan melelahkan. Baik secara idelogis maupun pragmatisme politik.

Tanpa dukungan masyarakat luas seorang calon akan sangat sulit untuk meraih kemenangan. Apalagi banyak calon yang maju dan sama-sama bekerja serius mengumpulkan bitingan suara rakyat. Selanjutnya seorang calon harus menyiapkan dana yang besar. Bisa mencapai senilai 10 miliar-15 milliar, bahkan bisa lebih. Sungguh pengorbanan yang tidak kecil dan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi pengenalan figur.

Apalagi jumlah penduduk Kabupaten Sumenep mencapai 1,05 juta jiwa. Sedangkan secara geografis Sumenep memiliki 9 kecamatan kepulauan dan 18 kecamatan daratan. Seorang kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati harus melakukan sosialisasi dari ujung Pulau Kramian Masalembu sampai Pulau Nonggunong. Selanjutnya dari daratan Prenduan sampai Lombang. Bahkan dari Kepulauan Sapeken sampai Raas. Sungguh medan tempur yang luas dan perlu biaya, tenaga ekstra tinggi.

Sedangkan figur kandidat calon juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas memimpin. Seorang figur harus memiliki basis sosial dan basis ekonomi kuat dalam menerapkan kepemimpinannya. Figur Minimal sosok tersebut telah teruji dan mengalami seleksi di bidangnya.

Figur kandidat yang visioner. Bisa dari Ekonom, Akademis/Intelektual, Birokrasi, Pengusaha dan Kyai. Bahkan bisa dari kalangan budayawan, seniman dan rakyat biasa. Selama memiliki kemampuan yang disyaratkan Undang-Undang dan Peraturan yang ada.

Jangan sampai seorang calon tidak memiliki visi yang jelas dalam melangkah. Seorang kandidat sudah sewajarnya memiliki tim konsultan perencanaan yang bisa menterjemahkan program-program visioner sang kandidat. Agar nantinya isu-isu yang di bawah ke basis bisa diterima kalangan bawah. Mengingat kalangan ini merupakan basis suara yang paling besar dan signifikan dalam meraih kemenangan.

Sementara isu-isu politik ”perubahan” sangat menjadi penting sebagai evaluasi dari Bupati dan Wakil Bupati Sumenep sebelumnya. Dimana pemerintahan sebelumnya dianggap gagal dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab. Tidak ada kemajuan berarti selama 10 tahun kebelakang. Terbukti dari program-program yang dijalankan kurang menyentuh masyarakat bawah. Mampukah kedepan kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati memperbaiki keadaan. Kita tunggu datangnya angin perubahan dari para kandidat kedepannya.

Secara pemetaan politik Sumenep partai politik yang mendapatkan kursi adalah PKB (11 kursi), PPP (7 kursi), PDI Perjuangan (6 kursi) dan PAN (6 kursi). Selanjutnya PKNU (4 kursi), Partai Golkar (4 kursi), PBB (4 kursi), Partai Hanura (3 kursi), PKS (2 kursi), Partai Demokrat (2 kursi) dan PDP (1 kursi). Jika dilihat dari pemetaan tersebut kemungkinan akan muncul ada 5 sampai 7 kandidat.

Sampai saat ini sudah muncul beberapa nama kandidat yang akan merebut kursi panas. Diantaranya Azasi Hasan, SE, MM (Ekonom/Bank BNI Pusat), KH. Busro Karim, Msi (Mantan Ketua DPRD Sumenep), Bambang Mursalim, MM, MBA (Pengusaha),KH. Ilyas Siradj, SH, MAg (Mantan Anggota DPR-RI PKB), Iksan Rofii, SE (Pengusaha), Malik Effendi, SH, MH (Ketua DPD PAN Sumenep) dan Ir. Sugianto (Ketua REI Madura). Sedangkan dari kalangan birokrasi muncul Sungkono Sidiq, MM (Kepala Bappeda) dan A. Syafii Untung (Kepala Bapemas).

Selanjutnya yang muncul dari kalangan independen adalah Rahmad (Pengusaha), dr. Samruddin Toyyib (Praktisi Kedokteran), H. Mahbup Ilahi (Pengusaha) dan Hj. Dewi Khalifah (Ketua PC Muslimat NU/Mantan Anggota DPRD Sumenep). Jika memilih jalur indepanden mereka harus mampu mengumpulkan dukungan yang luas dan harus disibukkan dengan persyaratan adminitrasi.

Sehingga fokus dalam penggalangan dukungan suara, akan sedikit berkurang konsentrasinya. Saat ini masyarakat Sumenep sedang mengevaluasi para figur kandidat track recordnya bagaimana selama menjabat, selama menjadi pengusaha, selama menjadi anggota dewan. Rakyat akan mencatat apa saja bentuk pengabdian/ kepeduliannya selama ini yang telah mereka berikan pada masyarakat.

Sebagaimana aturan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi parpol dalam mengajukan pasangan calonnya. Diantaranya memiliki kursi sebanyak 15 persen di DPRD dan memiliki suara sah sebanyak 15 persen. Baik dari gabungan partai maupun mengusung sendiri. Selain itu bisa calon independen dengan dukungan masyarakat 3 persen.

Tentunya calon independen harus melampirkan KTP dan surat penyataaan dukungan sebagai syarat pencalonan. Pertanyaannya mampukah independen lolos menjadi kandidat calon bupati dan calon wakil bupati? Mengingat persyaratan yang begitu berat tersebut, harus dilalui tahap demi tahap.

Semoga calon independen atau perseorangan lahir sebagai alternatif untuk melahirkan pemimpin Sumenep ke depan. Jangan sampai percaturan politik pilkada ini, hanya dikuasai segelintir orang. Apalagi oleh pemimpin-peminpin yang hanya rakus terhadap kekuasaan dan hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Wallahu'alam Bishawab(rud)